Selasa, 14 Februari 2012

PENGRUH LUMPUR SAWIT FERMENTASI DENGAN NEUROSPORA CRASSA TERHADAP PERFORMA DAN WARNA KUNING TELUR AYAM PETELUR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan konsumen akan telur yang rendah kolesterol sudah harus mendapat perhatian para peneliti unggas. Selain tuntutan rendahnya kadar kolesterol telur, konsumen juga menuntut telur yang kaya akan protein dan mengandung β karoten yang tinggi untuk memberikan warna kuning telur yang cerah. Untuk itu perlu dicari supplement yang lebih efektif untuk memperkaya zat gizi telur sekaligus menurunkan kadar kolesterol tanpa menurunkan produksinya. Yang potensial untuk tujuan tersebut adalah memanfaatkan limbah lumpur sawit yang difermentasi dengan Neurospora sp untuk mendapatkan produk tinggi β karoten. Lumpur sawit (LS) merupakan salah satu produk samping pengolahan minyak kelapa sawit. Produksi lumpur sawit akan terus meningkat dengan meningkatnya produksi minyak sawit Indonesia (Bintang et al., 2003) Dalam pemanfaatan bahan pakan yang belum umum digunakan, harus memperhatikan beberapa hal, seperti: jumlah ketersediaan kandungan zat gizi, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat racun atau zat-zat anti-nutrisiserta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak (Sinurat, 2003). Lumpur Sawit Fermentasi (LSF) merupakan sumber daya yang cukup potensial sebagai pakan ternak dan tersedia dalam jumlah besar dan relatif tersedia sepanjang waktu. Sinurat et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan protein kasar LSF kering sekitar 9,6 % - 14, 52% hampir sama dengan kandungan Protein kasar dedak padi, yaitu 13,3%, dan kandungan lemak kasarnya 10,4%. Kapang Neurospora crassa yang berwarna kuning orange merupakan kapang penghasil β karoten tertinggi dibandingkan dengan kapang karotegenik yang lainya yang diisolasi dari tongkol jagung, (Nuraini et al., 2008). Media fermentasi dengan kandungan nutrien yang seimbang diperlukan untuk menunjang kapang lebih maksimal dalam memproduksi β karoten sehingga dihasilkan suatu produk fermentasi yang kaya β karoten. Dari berbagai jenis karotenoid, β-karoten merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai aktivitas vitamin A yang terbesar dan paling banyak ditemukan dialam disamping telah banyak digunakan sebagai pewarna makanan (Nuraini et al., 2008). Jadi, diharapkan melalui bahan pakan sumber β karoten yang diperoleh melalui fermentasi Lumpur sawit dengan menggunakan kapang yang bersifat karotegenik seperti Neurospora sp, dapat meningkatkan skor warna yolk. I.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi produk fermentasi kaya karoten yang berasal dari lumpur sawit fermentasi (LSF) untuk memperkaya zat gizi dalam telur serta menaikkan kadar β karoten dalam telur dan dapat meningkatkan warna kuning telur sesuai tuntutan konsumen, serta untuk mengetahui pengaruhnya terhadap peforma ayam petelur. I.3 Hipotesis Pemberian ransum yang menggunakan lumpur sawit fermentasi dengan Neurospora crassa dapat meningkatkan peforman ayam dan warna kuning telur. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lumpur Sawit Fermentasi Lumpur minyak sawit merupakan salah satu limbah pengolahan kelapa sawit yang dihasilkan selama proses eksatraksi minyak, limbah ini berpotensi sebagai pakan ternak, mengandung air cukup tinggi dan diketahui dapat menimbulkan masalah lingkungan, sehingga salah satu cara untuk mengatasinya telah dilakukan dengan mengurangi kadar airnya dan dipergunakan sebagai pakan ternak (Webb et al., 1976 disitasi oleh Mathius et al, 2003). Kandungan protein kasar LMS kering sekitar 9,6%-14,52% hampir sama dengan kandungan protein kasar dedak padi, yaitu 13,3% dan kandungan lemak kasarnya 10,4% (Sinurat et al., 2004), sedangkan Mathius et al., (2004) melaporkan kandungan protein kasar LMS kering sekitar14,58% dan kandunganlemak kasarnya 14,78%. Sementara nilai Total Digestible Nutrient-nya dilaporkan 74%, lebih tinggi dibandingkan dedak padi yang hanya 70% (Agustin et al., 1991). Lumpur minyak sawit tanpa perlakuan dapat diberikan pada pakan sampai pada tingkat 50% dari total konsentrat (Gohl, 1981 disitasi oleh Umiyasih dan Anggraeny, 2003). Kandungan asam amino yang dimiliki lumpur sawit rendah, ini menjadi factor pembatas untuk ternak unggas dan monogastrik. Untuk meningkatkan nilai gizi lumpur sawit telah dilakuna dengan Aspergilus niger. Kandungan nutrisi lumpur sawit fermentasi yang di fermentasi dengan Aspergilus niger (LSF) PK 22,07%, SK 18,6%, Energi (TME) 1717 kkal/kg, Ca 1,24% dan P 0,65% (Sinurat, 2003). Penggunaan LSF dicobakan pada ayam broiler dan ayam kampung oleh Sinurat et al. (2000) hanya dapat digunakan sekitar 10%, pemberian yang lebih banyak sudah dapat menurunkan pertumbuhan, berbeda dengan ternak itik sedang tumbuh pemakaian 15% tidak menurunkan konsumsi ransum, pertambahan berat badan, berat hidup dan persentase karkas. 2.2 Neurospora crassa Kapang Neurospora crassa yang berwarna kuning orange merupakan kapang penghasil β karoten tertinggi dibandingkan dengan kapang karotogenetik lainnya yang diisolasi dari tongkol jagung. Kapang Neurospora membutuhkan substrat sebagai nutrient terutama sumber karbon dan nitrogen. Media fermentasi dengan kandungan nutrien yang seimbang diperlukan untuk menunjang kapang lebih maksimal dalam memperoduksi β karoten sehingga dihasilkan suatu produk fermentasi yang kaya β karoten (Nuraini, 2008). 2.3 Ayam Ras Petelur Ada dua tipe ayam ras petelur, yakni tipe ringan dan tipe medium (sedang). Ayam ras petelur ringan adalah ayam yang dikembangkan khusus untuk menghasilkan telur dan akhir masa produksi dijual sebagai ayam afkir yang harga dagingnya sangat murah. Ciri-ciri ayam tipe ringan adalah berat badannya ramping dan postur tubuhnya kecil. Telurnya berukuran lebih kecil dari pada telur ayam ras tipe medium dan biasanya berwarna putih (Abidin, 2003). Ayam ras tipe medium memiliki postur tubuh cukup besar dan pada akhir masa produksi bisa dijual sebagai ayam pedaging. Telur yang dihasilkan umumnya berwarna cokelat. Ayam tipe medium juga dikenal sebagai ayam tipe dwiguna. Di indonesia, secara umum, masyarakat lebih memilih telur ayam tipe medium daripada tipe ringan (Abidin, 2003). Menurut Abidin (2003), pertumnuhan ayam ras petelur dibagi menjadi tiga tahap, yakni periode starter, grower dan layer. Periode starter dimulai sejak hari pertama (DOC) hingga akhir minggu keempat, periode grower dimulai sejak akhir minggu keempat hingga minggu ke-16, dan periode layer dimulai sejak awal minggu ke-17 sampai afkir (minggu ke-80). 2.4 Konsumsi Ransum Ransum adalah satu atau beberapa bahan pakan yang telah diramu dengan komposisi tertentu yang berupa air, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Sudaro dan Siriwa, 2000). Apabila di dalam ransum kekurangan salah satu zat tersebut di atas maka akan terjadi gangguan dalam proses metabolisme tubuh, ternak akan menjadi lemah dan mudah terserang penyakit. Ransum yang baik adalah ransum yang banyak bagian yang tercerna dan dimanfaatkan oleh tubuh. Ransum yang mengandung energi metabolis tinggi akan mengurangi konsumsi ransum, sebaliknya ransum yang mengandung energi metabolisme rendah akan meningkatkan konsumsi ransum (Murtidjo, 1987). Konsumsi ransum adalah jumlah ransu yang dikonsumsi oleh ternak dalam satuan waktu tertentu. Ransum merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam peningkatan produktivitas ternak. Agar dicapai produktivitas ternak yang optimal, maka diperlukan ransum yang bermutu tinggi dalam arti mempunyai kandungan gizi yang seimbang sesuai dengan kebutuhan ternak. Amrullah (2003) menyatakan bahwa faktor yang paling penting dalam mempengaruhi konsumsi harian ransum adalah kandungan kalori ransum dan suhu keliling. Faktor lain yang berperan kurang dominan adalah galur ayam, bobot badan, bobot telur, penutupan bulu, derajat cekaman dan aktifitas ayam. Adapun faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum yaitu palatabilitas (cita rasa), strain, keaktifan ternak sehari-hari, selain itu konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kesehatan, keturunan, umur, imbangan zat-zat makanan, cekaman stres, kecepatan pertumbuhan, tingkat energi dan protein ransum, serta manajemen pemeliharaan (Rasyaf, 2002). Wahyu (1988) berpendapat bahwa konsumsi ransum tiap tipe ayam berbeda, ayam tipe ringan dewasa konsumsi ransumnya maksimal 100 gram per ekor per hari; tipe medium 120-150 gram per ekor per hari; tipe berat 150 gram ke atas. Konsumsi ransum erat kaitannya dengan kemampuan daya tampung tembolok yang turut menentukan banyaknya penerimaan makanan. Rasyaf (2002) berpendapat bahwa konsumsi ransum yang tinggi tidak menjadi jaminan mutlak bagi ayam untuk mencapai produksi yang optimal. Anggorodi (1985) menyatakan bahwa rasa ransum berpengaruh besar terhadap jumlah yang dikonsumsi oleh hewan, kadar energi ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi. 2.5 Konversi Ransum Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dibandingakan dengan julah produksi telur dalam satuan waktu tertentu (Rasyaf, 1995). Dijelaskan lebih lanjut ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai konversi ransum yaitu kesehatan, keadaan lingkungan, kualitas ransum, macam bahan ransum dan jenis ayang yang dipelihara. Jika kandungan energi ransum tinggi, maka semakin rendah nilai konversinya, sehingga perbedaan konversi ransum muncul karena bobot ransum yang dikonsumsi beda jumlahnya (Amrullah, 2003). Konversi ransum dipengaruhi oleh kadar protein pakan, energi pakan, umur, bangsa ternak, besar tubuh, ketersediaan zat-zat dalam pakan dan lingkungan serta kesatuan ternak, konversi selain menggambarka efek fisiologis dalam memanfaatkan zat-zat gizi, tetapi dapat pula menyatakan besar kecilnya keuntungan yang diterima oleh peternak. Semakin kecil angkanya maka semakin baik tingkat konversinya. Konversi ransum kerap kali dijadikan pegangan untuk berproduksi, semakin baik nilai konversi ransum dari ternak akan semakin baik pula nilai income over feed cost (Rasyaf, 1988). 2.6 Berat Telur Faktor makanan yang diketahui mempengaruhibesarnya telur adalah kadar protein, asam amino dan asam linoleat dalam ransum (Anggorodi, 1980). Karena kira-kira 50% dari bahan kering yang terkandung dalam telur adalah protein, pemberian asam amino untuk sintesis protien sangat diperlukan untuk produksi telur. Sementara menurut Moeis (1992) terjadinya nilai berat telur yang dihasilkan dapat diakibatkan oleh beberapa umur ayam yang dipelihara, rendahnya kadar protein yang diberikan dan lemak ransum. Berat telur berhubungan dengan umur ayam. Ayam yang baru bertelur menghasilkan telur yang kecil. Ukuran telur akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur ayam, ukuran maksimum dicapai pada akhir masa periode peneluran (North, 1984). 2.7 Produksi Telur Produksi telur adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor ternak ayam pada saat ayam tersebut mulai produksi sampai masa afkir. Produksi telur dari tiap strain ayam akan berbeda-beda dan terhadap masa bertelurnya, ayam tipe ringan (ayam petelur putih ayam leghorn) mulai bertelur pada umur 15 atau 16 minggu, sedangkan ayam tipe medium (ayam petelur cokelat) akan mulai bertelur antara 22 hingga 24 minggu (Rasyaf, 1994), selanjutnya ditambahkan lagi bahwa faktor yang menentukan saat mulai bertelur itu adalah kedewasaan kelamin dari ayam petelur yang dipelihara, sedangkan faktor yang dapat menurunkan produksi telur adalah kondisi lingkungan sekitaryang selalau berisik sehingga menyebabkan stres pada ayam, kualitas dan kuantitas ransu yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuha ayam. Amrullah (2003) berpendapat bahwa nilai produksi yang dijadikan patokan adalah nilai yang dapat dicapai jika petelur dipelihara dengan baik, selain produksi telur, bobot badan pda kurun waktu pertumbuan dan banyak patokan yang lain dalam periode produksi seperti produksi harian (%), produksi telur total (butir), bobot badan dewasa, besar telur, daya hidup (%) serta produksi telur tetas (%) dan daya tetas. 2.8 Warna Yolk (kuning telur) Telur yang berkualitas baik memiliki kuning telur yang tidak cacat, bersih, tidak terdapat pembuluh darah, dan tidak terdapat bercak daging atau bercak darah. Umumnya kuning telur berbentuk bulat, berwarna kuning dan orangenya terletak pada pusat telurdan bersifat elastis. Bintik darah pada permukaan kuning telur biasaya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah bersamaan dengan keluarnya kuning telur daru kantong telur (Wahyu, 1997). Ukuran kuning telur menentukan besar telur dan ukuran telur lebih banyak ditentukan oleh bobot ayam (Amrullah, 2003). Kandungan zat nutrisi yang terdapat pada kuning telur diantaranya adalah protein 16,5%, lemak 325, karbohidrat, vitamin kecuali vitamin C dan K, air dan mineral (Sudaryani, 1996). Ketebalan kuning telur akan menurun selama penyimpanan akibat penambahan ukuran kuning telur karena terjadi perpindahan air dari putih telur ke kuning telur (Wiranto dan Koswara, 2002). Menurut Abbas (1989) warna kuning telur dipengaruhi oleh figmen dalam makanan. North (1984) menyatakan bahwa variasi warna kuning telur disebabkan oleh selain kualitas dan tipe xantophyl juga disebabkan perbedaan strain dan individu unggas, kandang baterai karena lebih baik dari liter, mortilitas ayam, stres akan mengurangi xantophyl mencapai ovarium dan peningkatan ransum akan meningkatkan absorbsi xantophyl. III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 8 minggu dimulai tanggal 5 September 2009 sampai 30 Oktober 2000, penelitian dilaksanakan kandang Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan duduk kapasitas 20 kg dengan ketelitian 10 g, timbangan elektrik, Yolk Colour Fan, tempat ransum, tempat minum, ember, gayung, sekop, kompor, panci dan lain-lain yang dianggap perlu. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50 ekor ayam petelur, serta bahan pakan yang terdiri dari jangung giling, kosentrat, LSF, dedak halus, mineral mix 3.3 Tahapan Penelitian 3.3.1 Persiapan Bahan Pakan Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangung giling, kosentrat, LSF, dedak halus, mineral mix. Untuk pembuatan Lumpur sawit fermentatif (LSF) yaitu dengan menambahkan air aquades (kadar air 70%) diaduk secara merata, kemudian dikukus selama 30 menit sampai air mendidih untuk mensterilkan bahan, setelah itu didiamkan sampai mencapai suhu kamar. Substrat dinokulasi dengan 9% inokulum kapang N. Crassa. Diaduk secara merata dan diinkubasi selama 7 hari. Setelah 7 hari, produk fermantasi tersebut dipanen, dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari sampai kering kemudian digiling. Tabel 1. Komposisi bahan pakan yang digunakan : Bahan Pakan Protein (%) Energi (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Phospor (%) Lemak (%) Jagung kuning 8,6 3370 2,82 0,06 0,29 3,9 Dedak 6,5 1630 5,49 0,1 1,94 9,85 lumpur sawit fermentasi 23,45 1774 17,34 1,32 0,56 9,45 Ca Co3 0 0 0 38 0 0 Mineral Mix 0 0 0 48 26 0 Konsentrat Super 32 3500 8 11 1,5 5 Top Mix 0 0 0 0 0 0 Tabel 2. Dari bahan-bahan diatas, dibuatlah pakan dengan susunan sebagai berikut: Bahan Pakan Ransum Perlakuan PO P1 P2 P3 P4 Jagung Giling (%) 30 30 30 30 30 Kosentrat (%) 35 33 31 29 27 LSF (%) 0 5 10 15 20 Dedak Halus (%) 33 30 27 24 21 Mineral Mix (%) 2 2 2 2 2 Total (%) 100 100 100 100 100 Kandungan Nutrient Protein Kasar (%) 16,76 16,77 16,86 16,94 17,02 ME (kkal/kg) 2846 2784 2746 2683 2634 3.3.2 Persiapan kandang Sebelum penelitian ini dimulai, kandang ayam petelur yang ada di laboratorium lapang Jurusan Peternakan terlebih dahulu dibersihkan dengan cara menyapu bagian kandang. Juga tempat pakan dan tempat air minumnya. Memperbaiki bagian kandang yang rusak dan juga sistem sanitasinya. 3.3.3 Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian diperkirakan selama 60 hari, setiap perlakuan terdiri dari 10 buah kandang yang berisi 2 ekor ayam petelur (individual cage . Ransum dan air minum diberikan secara ad bilitum. Jumlah ransum yang dikonsumsi, konversi pakan, produksi telur, bobot telur dan warna kuning telur diukur setiap minggu. 3.3.4 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap pola searah, pada percobaan ini akan digunakan ayam petelur fase produksi umur 7 bulan sebanyak 50 ekor. Ayam petelur tersebut terbagi dalam 5 perlakuan dengan 5 ulangan dan setiap ulangan berisi 2 ekor ayam yang ditempatkan secara acak pada kandang sistem cage. Model matematis rancangan ini adalah: Yij = μ + ρi + εij Dimana: Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j μ = nilai tengan umum ρi = pengaruh perlakuan ke-i εij = galat pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j 3.4 Variabel yang Diamati 3.4.1 Konsumsi Ransum Konsumsi ransum diukur setiap akhir minggu dengan cara menghitung selisih ransum yang disediakan pada awal minggu dengan sisa ransum pada akhir minggu. 3.4.2 Konversi Ransum Konversi ransum diukur dengan cara membandingkan bandingan antara konsumsi ransum dengan pertambahan berat badan. 3.4.3 Bobot Telur Ayam Berat telur ayam ditimbang setiap akhir minggu sampai akhir penelitian. 3.4.4 Produksi Telur Produksi telur selama penelitian dihitungan dengan cara mempresentasekan jumlah telur yang diproduksi dengan jumlah ternak yang dipelihara pada setiap perlakuan. 3.4.5 Warna Yolk Warna yolk diukur menggunakan yolk colour fan pada minggu ketiga sebelum akhir peneliian. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Produksi telur Rataan produksi telur ayam setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada table berikut: Tabel 3. Rataan produksi telur (butir/ekor/mg) pada masing-masing perlakuan selama penelitian Ulangan Perlakuan Ket P0 P1 P2 P3 P4 1 91,07 80,36 83,93 50,00 72,32 2 91,07 83,93 68,75 84,82 81,25 3 91,07 75,89 82,14 84,82 78,57 4 88,39 74,11 91,07 78,57 75,89 5 82,14 83,04 81,25 78,57 67,86 Jumlah 443,75 397,32 407,14 376,79 375,89 Rataan 88,75 79,46 81,43 75,36 75,18 ns SD 7,743 8,642 16,139 29,029 10,495 Ket : ns = tidak berpengaruh nyata (P>0,05) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rataan produksi telur. Tidak adanya poerbedaan rataan produksi telur ini menyatakan bahwa lumpur sawit fermentasi tidak menurunkan kualitas ransum. Table 6. memperlihatkan bahwa P0 (kontrol) memiliki produksi tertinggi (88,75 butir/ekor/mg) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Produksi telur terendah pterdapat pada P3 (75,18 butir/ekor/mg) dengan perlakuan 15% lumpur sawit fermentasi. Walaupun terdapat perbedaan angka produksi telur, namun analisis ragam pada setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan lumpur sawit fermentasi (hingga level 20%) dalam ransum masih mampu untuk mempertahankan produksi telur ayam. 2. Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada table berikut: Tabel 4. Rataan konsumsi ransum (g/ekor/mg) setiap perlakuan selama penelitian Ulangan Perlakuan Ket P0 P1 P2 P3 P4 1 137,35 135,04 137,72 123,14 134,57 2 135,24 135,47 137,45 127,44 134,57 3 136,84 137,94 137,47 133,36 134,83 4 137,77 136,00 135,01 135,77 137,35 5 137,40 137,84 137,05 136,28 137,18 Jumlah 684,60 682,29 684,71 655,99 678,50 Rataan 136,92a 136,46a 136,94a 131,20b 135,70a * SD 5,083 79,050 52,363 47,17 50,52 Ket : * Berbeda nyata (P<0,05) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan konsumsi ransum. Konsumsi ransum P1, P2, dan P4 tidak berbeda nyata dengan P0 (136,92 g/ekor/mg). Wahju (1997) menyatakan bahwa tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Selanjutnya murtidjo (1989) menjelaskan bahwa tinggi atau rendahnya kadar energi metabolis dalam ransum ternak unggas, akan mempengaruhi banyak sedikitnya ternak mengkonsumsi ransum. Ransum yang mengandung energi tinggi akan lebih sedikit dikonsumsi, dan ransum yang mengandung energi rendah akan lebih banyak dikonsumsi. Rataan ransum pada penelitian ini (berkisar antara 131,20-136,92 g/ekor/mg). Perbedaan konsumsi ransum yang terjadi disebabkan oleh perbedaan jenis bahan ransum yang digunakan, sebagaimana dinyatakan Anggorodi (1985) bahwa tinggi atau rendahnya konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh umur, temperature lingkungan, kesehatan ternak, imbangan zat nutrisi, tingkat energi dalam ransum, kualitas bahan pakan, jenis pakan dan palatabilitas ransum. 3. Berat telur Data berat telur setiap perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 5. Hasil analisi ragam menunjukkan, perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap rataan berat telur. Walaupun tidak berpengaruh nyata, tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan berat telur tertinggi terdapat pada P3 (63,36 g/butir) yang merupakan ransum perlakuan dengan 10% lumpur sawit fermentasi, sedangkan berat telur terendah terdapat pada perlakuan P0 (kontrol) (60,42 g/butir) dengan perlakuan ransum tanpa lumpur sawit. Hal ini berarti bahwa penggunaan lumpur sawit fermentasi (hingga 20%) relatif tidak menurunkan berat telur. Tidak adanya perbedaan berat telur kemungkinan disebabkan pengaruh imbangan energi protein ransum, karena tingkat energi protein ransum yang diberikansetiap perlakuan relatif sama. Abidin (2002) juga menyatakan bahwa besar kecilnya telur yang dihasilkan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jumlah ransum dan imbangan energi protein ransum. Tabel 5. Rataan berat telur (g/butir) pada masing-masing perlakuan selama penelitian Ulangan Perlakuan Ket P0 P1 P2 P3 P4 1 60,32 61,81 60,63 64,15 60,58 2 59,14 65,46 65,49 62,62 61,39 3 60,39 64,09 65,87 58,17 59,71 4 58,72 59,97 61,74 60,28 65,41 5 63,54 60,96 63,07 67,22 63,07 Jumlah 302,11 312,30 316,80 312,45 310,15 Rataan 60,42 62,46 63,36 62,49 62,03 ns SD 3,786 4,530 4,584 6,977 3,971 Ket : ns = tidak berpengaruh nyata (P>0,05) 4. Konversi ransum Rataan konversi ransum setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada table berikut: Tabel 6. Rataan konversi ransum pada masing-masing perlakuan Ulangan Perlakuan Ket P0 P1 P2 P3 P4 1 2,51 2,76 2,65 4,19 3,09 2 2,58 2,78 3,44 2,38 2,75 3 2,44 2,77 2,57 2,63 2,86 4 2,63 2,93 2,43 2,87 2,76 5 2,68 2,82 2,77 2,64 3,26 Jumlah 12,84 14,06 13,86 14,72 14,72 Rataan 2,57 2,81 2,77 2,94 2,94 ns SD 5,083 0,661 0,360 1,404 0,036 Ket : ns = tidak berpengaruh nyata (P>0,05) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rataan konversi ransum tidak dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,05). Rataan konversi ransum tertinggi pada P0 (kontrol) sebesar 2,57, selanjutnya oleh P2 (2,77), P1 (2,81), P3 (2,94) dan P4 (2,94). Nilai konversi ransum pada tiap-tiap perlakuan terlihat naik turun, namun hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rataan konversi ransum tidak dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,05). Hal ini berarti bahwa pengunaan lumpur sawit fermentasi (hingga level 20%) tidak memberikan efek yang negatif terhadap efisiensi penggunaan ransum. 5. Warna Kuning terlur Rataan warna yolk setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Rataan skor warna kuning telur pada masing-masing perlakuan selama penelitian Ulangan Perlakuan Ket P0 P1 P2 P3 P4 1 5,86 7,06 7,42 8,72 9,59 2 5,77 7,22 8,09 8,48 9,69 3 5,59 7,20 7,98 8,75 9,98 4 5,91 7,02 8,25 8,50 9,97 5 6,03 7,22 8,09 8,89 10,16 Jumlah 29,16 35,72 39,84 43,34 49,39 Rataan 5,83a 7,14d 7,97c 8,67b 9,88a *** SD 0,329 0,192 5,748 2,217 0,457 Ket : *** Berbeda sangat nyata (P<0,01) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna kuning telur. Dilihat pada Tabel 7 bahwa peningkatan warna kuning telur seiring dengan peningkatan level pemberiaan lumpur sawit fermentasi. P4 dengan perlakuan tertinggi (20%) memberikan skor warna kuning telur tertinggi (9,88) sedangkan P0 yang tidak menggunakan lumpur sawit fermentasi (kontrol), memberikan skor warna terendah (5,83). Hal ini erat kaitannya dengan β-caroten dan xantopil Yang terkandung dalam lumpur sawit fermentasi, sehingga intensitas warna kuning telur yang dihasilkan lebih tinggi pada perlakuan 20% LSF dalam ransum. Menurut Hausman & Sandman (2000), β karoten merupakan senyawa golongan karotenoid yang tidak stabil karena mudah teroksidasi menjadi xantofil. Xantofil berfungsi untuk pewarnaan kuning telur. Xantofil tidak bisa disintesis oleh tubuh ayam, tetapi diperoleh dari ransum yang terdiri atas bahan pakan yang mengandung xantofil. Pakan ternak yang merupakan sumber xantofil adalah jagung dan hijauan. Unggas mengkonsumsi ransum yang mengandung karotenoid lebih tinggi akan menghasilkan telur dengan intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi pula (Udedibie & Opara, 1998).

gambar ternak